Kesederhanaan dalam Kewibawaan
Kesederhanaan dalam Kewibawaan
Pada masa Rosululloh SAW memimpin masyarakat Madinah, selaku seorang besar beliau justru orang paling tidak punya, walaupun warga Madinah dalam keadaan serba kecukupan.
Pada suatu hari, ketika Rosululloh mengimami sholat isya’ berjamaah, para sahabat Nabi yang jadi makmum dibikin cemas oleh keadaan Nabi yang agaknya sedang kurang enak badan. Buktinya, setiap kali beliau menggerakkan tubuh untuk rukuk, sujud dan sebagainya, selalu terdengar oleh telinga para sahabat Nabi suara keletak-keletik, seakan-akan tulang-tulang Nabi longgar semuanya.
Maka, setelah salam, sahabat Umar bin Khoththob bertanya kuatir, “ya Rosulalloh, apakah engkau sakit ?
“Tidak Umar, Aku sehat. Aku tidak sakit” jawab Nabi.
“Tapi mengapa tiap kali engkau menggerakkan badan dalam Sholat, kami mendengar bunyi tulang-belulangmu yang berkeratakan ?”
Mula-mula Nabi tidak ingin membongkar rahasianya. Namun para sahabat Nabi tampaknya kuatir dan sangat was-was memperhatikan keadaan Nabi. Akhirnya Nabi pun terpaksa membuka pakaiannya.
Tampak oleh para Sahabat Nabi, bahwa Nabi mengikat perutnya yang kempis dengan selembar kain yang didalamnya diisi batu-batu kerikil untuk mengganjal perut guna menahan rasa lapar. Batu-batu kerikil itulah yang berbunyi keletak-keletik sepanjang Nabi memimpin sholat berjamaah.
Dengan serta-merta Sahabat Umar pun memekik pedih, “Ya Rosulalloh, apakah sudah sehina itu anggapanmu kepada kami ?, apakah engkau mengira seandainya engkau mengatakan lapar, kami tidak bersedia memberimu makan yang paling lezat ? bukankah kami hidup dalam kemakmuran.
Nabi kemudian tersenyum ramah, seraya menyahut, “Tidak, Umar, tidak. Aku tahu, kalian, para sahabatku adalah orang-orang yang setia kepadaku. Apalagi sekedar makanan, harta atau nyawa pun akan kalian serahkan untukku sebagai rasa cintamu terhadapku. Tetapi di mana akan kuletakkan mukaku di hadapan pengadilan Alloh kelak di hari pembalasan, apabila aku selaku pemimpin justru membikin berat dan menjadi beban orang-orang yang aku pimpin.
Para Sahabat pun sadar akan peringatan yang terkandung dalam ucapan Nabi tersebut. Sesuai dengan tindakannya yang senantiasa lebih mementingkan kesejahteraan ummat, dari pada urusan dirinya sendiri.
Pada masa Rosululloh SAW memimpin masyarakat Madinah, selaku seorang besar beliau justru orang paling tidak punya, walaupun warga Madinah dalam keadaan serba kecukupan.
Pada suatu hari, ketika Rosululloh mengimami sholat isya’ berjamaah, para sahabat Nabi yang jadi makmum dibikin cemas oleh keadaan Nabi yang agaknya sedang kurang enak badan. Buktinya, setiap kali beliau menggerakkan tubuh untuk rukuk, sujud dan sebagainya, selalu terdengar oleh telinga para sahabat Nabi suara keletak-keletik, seakan-akan tulang-tulang Nabi longgar semuanya.
Maka, setelah salam, sahabat Umar bin Khoththob bertanya kuatir, “ya Rosulalloh, apakah engkau sakit ?
“Tidak Umar, Aku sehat. Aku tidak sakit” jawab Nabi.
“Tapi mengapa tiap kali engkau menggerakkan badan dalam Sholat, kami mendengar bunyi tulang-belulangmu yang berkeratakan ?”
Mula-mula Nabi tidak ingin membongkar rahasianya. Namun para sahabat Nabi tampaknya kuatir dan sangat was-was memperhatikan keadaan Nabi. Akhirnya Nabi pun terpaksa membuka pakaiannya.
Tampak oleh para Sahabat Nabi, bahwa Nabi mengikat perutnya yang kempis dengan selembar kain yang didalamnya diisi batu-batu kerikil untuk mengganjal perut guna menahan rasa lapar. Batu-batu kerikil itulah yang berbunyi keletak-keletik sepanjang Nabi memimpin sholat berjamaah.
Dengan serta-merta Sahabat Umar pun memekik pedih, “Ya Rosulalloh, apakah sudah sehina itu anggapanmu kepada kami ?, apakah engkau mengira seandainya engkau mengatakan lapar, kami tidak bersedia memberimu makan yang paling lezat ? bukankah kami hidup dalam kemakmuran.
Nabi kemudian tersenyum ramah, seraya menyahut, “Tidak, Umar, tidak. Aku tahu, kalian, para sahabatku adalah orang-orang yang setia kepadaku. Apalagi sekedar makanan, harta atau nyawa pun akan kalian serahkan untukku sebagai rasa cintamu terhadapku. Tetapi di mana akan kuletakkan mukaku di hadapan pengadilan Alloh kelak di hari pembalasan, apabila aku selaku pemimpin justru membikin berat dan menjadi beban orang-orang yang aku pimpin.
Para Sahabat pun sadar akan peringatan yang terkandung dalam ucapan Nabi tersebut. Sesuai dengan tindakannya yang senantiasa lebih mementingkan kesejahteraan ummat, dari pada urusan dirinya sendiri.